![Pemimpin Wanita dalam Islam](https://lh3.googleusercontent.com/blogger_img_proxy/AEn0k_uOjLe0Ghr8f8fB7lNYswQH8pE8TcPvgBrI2NoC7cInyeiIh9P5EQ5oS6u8fY38Pzyd7H6TzkknbgZk4BfCwKqaWBdCCeproXuK_UMjY48Lq2U4EcZgKRf7a_RZlH2UrhxMAKBP4lrSh5vaVg-M1y3y_zw=s0-d)
Pemimpin
Wanita dalam Islam. Kepemimpinan perempuan menjadi kontroversi dalam
tinjauan syariah Islam karena ada perbedaan ulama tentang hadits sahih
dari Abu Bakrah di mana Nabi menyatakan bahwa Suatu kaum tidak akan
berjaya apabila dipimpin oleh perempuan.
Pemimpin Perempuan dalam Islam*
Oleh A. Fatih Syuhud
Di Indonesia wacana hukum Islam tentang boleh tidaknya wanita
menduduki jabatan publik, baik tingkat tertinggi maupun dalam level yang
lebih rendah muncul relatif baru. Topik ini mulai mengemuka pasca
era
Reformasi. Tepatnya, sejak tahun 2001, yakni saat lengsernya
Abdurrahman “Gus Dur” Wahid dari tahta kepresidenan dan naiknya Megawati
Sukarnoputri menjadi presiden wanita pertama di Indonesia.[1] Di negara
muslim lain, fenomena kepala negara wanita sudah pernah dan sedang
terjadi yaitu di Pakistan dan Bangladesh. Perdana Menteri (PM) Benazir
Bhutto menjadi Kepala Negara Pakistan dua periode yang pertama pada
tahun 1988-1990 dan yang kedua pada tahun 1993-1996.[2] Bangladesh,
negara yang memisahkan diri dari Pakistan pada 1971, dipimpin oleh dua
kepala negara wanita yaitu Khaleda Zia (1991-2006) dan Sheikh
Hasina.yang berkuasa dua periode yakni tahun 1996-2001 dan 2009-sampai
sekarang.[3]
Kontroversi pemimpin perempuan sebenarnya sudah mulai berhembus jauh
sebelum pemilu 1999. Pro kontra ini berasal dari berbagai lapisan
masyarat mulai dari politisi partai yang berbasis Islam maupun dari
kalangan non-partai termasuk akademisi, aktivis ormas Islam, bahkan
kalangan santri yang secara kultural berafiliasi ke NU (Nahdlatul
Ulama). Hal ini dapat dimaklumi karena masalah kepemimpinan perempuan
mencakup banyak dimensi: politis, sosiologis, budaya, ideologis.
Termasuk di antaranya adalah dimensi syariah. Tulisan ini akan
memfokuskan pembahasan dari aspek hukum syariah, suatu sudut pandang
yang paling menjadi perhatian kalangan santri khususnya dan umat Islam
secara umum.
Pembagian Al-Wilayah
Level kepemimpinan dan dalam bahasa Arab disebut
al wilayah yang secara etimologis berarti.suatu negara yang diatur oleh kepala pemerintahan.
Al-Wilayah juga bermakna penguasa atau pejabat negara itu sendiri.[4] Secara istilah
al-wilayah terbagi menjadi tiga yaitu
al-wilayah al-udzma al-kubro, al-wilayah al-ammah dan
al-wilayah as-sughro al-khassah.
Al-wilayah al-ammah bermakna “jabatan yang memiliki otoritas untuk melaksanakan tiga jabatan yaitu eksekutif
(tanfidziyah), yudikatif
(qadhaiyah) dan legislatif
(tashri’iyah).”[5]
Yang dimaksud
al-wilayah al-udzma al-kubro yaitu wilayah
negara yang dipimpin oleh kepala pemerintahan yang sekarang disebut
dengan presiden, perdana menteri, kanselir, atau raja. Namun, ada juga
perbedaan penafsiran dalam mendefinisikan kata
al-wilayah al-udzma al-kubro dan
al-wilayah as-sughro. Ada pandangan yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
al-wilayah al-kubro adalah kekuasaan khilafah yang mencakup seluruh negara Islam di seluruh dunia yang pemimpinnya disebut dengan
al-imamah al-udzma.[6] Dalam pengertian ini, maka sebenarnya
al-imam al-udzma atau
al-khilafah al-ammah yang menjadi pemimpin tertinggi dalam
al-wilayah al-udzma saat ini pada dasarnya tidak ada. Yang ada saat ini adalah kepala negara dalam level
al-wilayah as-sughra.[7] Pandangan ini dianut oleh banyak ulama kontemporer seperti Yusuf Qardhawi, Tantawi, dan Ali Jumah. Sedang
al-wilayah as-sughro hanya terbatas pada satu negara Islam di antara negara-negara Islam yang lain.
Dalam konteks pemahaman seperti di atas, Qardawi menyatakan:
ولكن هناك إجماعًا للفقهاء على أن المرأة لا تصلح
للخلافة العامة، أو الإمامة العظمى، والتي هي خلافة المسلمين جميعًا، ولكن
هل الرئاسة الإقليمية في الدول القطرية الحالية تدخل في الخلافة، أم أنها
أشبه بولاية الأقاليم قديمًا.
(Ulama fiqih sepakat [ijmak] bahwa perempuan tidak pantas menduduki jabatan
Al-Khilafah al-Ammah atau
Al-Imamah Al-Udzma yaitu
pemimpin seluruh umat Islam dunia. Akan tetapi apakah kepala negara
dalam level lokal dan regional seperti saat ini masuk dalam kategori
al-khilafah atau serupa dengan kepala daerah pada zaman dulu?).[8]
Terlepas dari itu, Al-Mawardi dalam
Al-Ahkam As-Sultaniyyah membagi kekusaan
al-wilayah al-ammah yang berada di bawah kepala negara
(al-wilayah al-kubro) ke dalam empat bagian:
فالقسم الأول: من تكون ولايته عامة في الأعمال العامة، وهم الوزراء، لأنهم يُستَنابون في جميع الأمور من غير تخصيص.
والقسم الثاني: من تكون ولايته عامة في أعمال خاصة، وهم: أمراء الأقاليم
والبلدان؛ لأن النظر فيما خصوا به من الأعمال، عام في جميع الأمور.
والقسم الثالث: من تكون ولايته خاصة في الأعمال العامة، وهم كقاضي القضاة،
ونقيب الجيوش، وحامي الثغور، ومستوفي الخراج، وجابي الصدقات؛ لأن كل واحد
منهم مقصور على نظر خاص في جميع الأعمال. والقسم الرابع: من تكون
ولايته خاصة في الأعمال الخاصة، وهم: كقاضي بلد، أو إقليم، أو مستوفي
خراجه، أو جابي صدقاته، أو حامي ثغره، أو نقيب جند؛ لأن كل واحد منهم خاص
النظر، مخصوص العمل
(Bagian pertama, orang yang kekuasaannya umum dalam urusan umum.
Mereka adalah para menteri karena mereka bertanggung jawab atas semua
perkara tanpa kekhususan. Kedua, pejabat yang kekuasaannya umum dalam
tugas-tugas khusus. Mereka adalah pejabat daerah dan kota, karena
melihat pada tugas yang dikhususkan pada mereka itu umum dalam segala
urusan. Ketiga, pejabat yang kekuasaannya khusus dalam urusan yang umum.
Mereka seperti hakim, komandan tentara, penarik pajak dan zakat.
Keempat, pejabat yang tugasnya khusus untuk urusan khusus. Seperti hakim
kota atau daerah, penarik pejak atau zakat, penegak hukum, dan
lain-lain. Karena masing-masing memiliki pengawasan khusus dan tugas
khusus).[9]
Titik Kontroversi Kepemimpinan Perempuan
Terjadinya pro dan kontra dalam soal pemimpin wanita dalam Islam
berasal dari perbedaan ulama dalam menafsiri sejumlah teks baik dari
Al-Quran maupun hadits. Beberapa
nash yang menjadi ajang perbedaan penafsiran antara lain::
- QS An Nisa 4:34 Allah berfirman “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin
bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka
(laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita),…”[10]
- QS Al Ahzab 33:33 Allah berfirman: “dan hendaklah kamu (perempuan)
tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti
orang-orang Jahiliyah yang dahulu.”[11]
- QS Al-Ahzab 33:53 Allah berfirman: “Apabila kamu meminta sesuatu
(keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari
belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati
mereka.”[12]
- QS Al-Baqarah 4:282 Allah berfirman: “Dan persaksikanlah dengan dua
orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang
lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari
saksi-saksi yang kamu ridhai.”[13]
- QS At Taubah 9:71 Allah berfirman: “Dan orang-orang yang beriman,
lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi
sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf,
mencegah dari yang munkar.”[14]
- QS An-Naml ayat 27:23-44 (kisah tentang dan pujian Allah terhadap Ratu Balqis).
- Hadits Nabi: “Wanita adalah saudara dari laki-laki.”[15]
- Hadits Nabi: “Allah mengizinkan kalian perempuan keluar rumah untuk memenuhi kebutuhanmu.”[16]
- Aisyah memimpin tentara laki-laki dalam perang Jamal.
- Umar bin Khattab mengangkat wanita bernama As-Syifa sebagai akuntan pasar.[17]
- Hadits sahih riwayat Bukhari dari Abu Bakrah, Nabi bersabda: “Tidak
akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan kepemimpinannya pada
wanita.”[18]
Teks hadits dari Abu Bakrah dan QS An Nisa 4:34 menjadi alasan paling
mendasar dari kalangan ulama yang mensyaratkan kepemimpinan harus di
tangan laki-laki dan menolak atas bolehnya peran wanita menduduki posisi
tersebut. Sedangkan kisah Ratu Balqis dalam QS An-Naml 27:23-44, dan QS
At Taubat 9:71 serta hadits ““Wanita adalah saudara dari laki-laki.”
menjadi argumen dasar ulama yang membolehkan pemimpin perempuan.
Pandangan yang Mengharamkan Pemimpin Wanita
Pendapat yang mengharamkan kepala negara perempuan mendasarkan
argumennya terutama pada QS An Nisa 4:34 dan hadits dari Abu Bakrah di
atas. Dari kedua nash tersebut kalangan ahli fiqih salaf, termasuk
madzah empat berpendapat bahwa
al-imam harus dipegang seorang laki-laki dan tidak boleh diduduki seorang perempuan. Ibnu Katsir, misalnya, dalam
Tafsir Ibnu Katsir dalam menafsiri QS An-Nisa 4:34 menyatakan:
الرجل قيم على المرأة، أي هو رئيسها وكبيرها والحاكم
عليها ومؤدبها إذا اعوجت. “بما فضَّل اللّه بعضهم على بعض” أي: لأن الرجال
أفضل من النساء، والرجل خير من المرأة، ولهذا كانت النبوة مختصة بالرجال،
وكذلك المُلك الأعظم؛ لقوله _صلى اللّه عليه وسلم: “لن يفلح قوم ولَّو
أمرهم امرأة” رواه البخاري، وكذا منصب القضاء وغير ذلك “وبما أنفقوا من
أموالهم” أي: من المهور والنفقات… فناسب أن يكون قيماً عليها كما قال اللّه
_تعالى_: “وللرجال عليهن درجة” الآية، وقال ابن عباس: “الرجال قوامون على
النساء” يعني أمراء عليهن، أي تطيعه فيما أمرها اللّه به من طاعته…)
(Laki-laki adalah pemimpin wanita … karena laki-laki lebih utama dari
perempuan. Itulab sebabnya kenabian dikhususkan bagi laki-laki begitu
juga raja yang agung; … begitu juga posisi jabatan hakim dan lainnya…
Ibnu Abbas berkata “Laki-laki pemimpin wanita” maksudnya sebagai
amir yang harus ditaati oleh wanita).[19]
Ar-Razi dalam Tafsir Ar-Razi sependapat dengan pandangan Ibnu Katsir:
واعلم أن فضل الرجل على النساء حاصل من وجوه كثيرة،
بعضها صفات حقيقة، وبعضها أحكام شرعية وفيهم الإمامة الكبرى والصغرى
والجهاد والأذان والخطبة والاعتكاف والشهادة في الحدود والقصاص بالاتفاق
(Keutamaan laki-laki atas wanita timbul dari banyak sisi. Sebagian
berupa sifat-sifat faktual sedang sebagian yang lain berupa hukum
syariah seperti
al-imamah as-kubro dan
al-imamah as-sughro, jihad, adzan, dan lain-lain).[20]
Wahbah Zuhaili dalam
Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu mengutip ijmak-nya ulama bahwa salah satu syarat menjadi imam adalah laki-laki
(dzukuroh):
وأما الذكورة فلأن عبء المنصب يتطلب قدرة كبيرة لا
تتحملها المرأة عادة، ولا تتحمل المسؤولية المترتبة على هذه الوظيفة في
السلم والحرب والظروف الخطيرة، قال صلّى الله عليه وسلم : «لن يفلح قوم
ولوا أمرهم امرأة» (2) لذا أجمع الفقهاء على كون الإمام ذكراً.
(Adapun laki-laki [sebagai syarat jabatan
al-imam] karena
beban pekerjaan menuntut kemampuan besar yang umumnya tidak dapat
ditanggung wanita. Wanita juga tidak sanggup mengemban tanggung jawab
yang timbul atas jabatan ini dalam masa damai atau perang dan situasi
berbahaya. Nabi bersabda: ‘Tidak akan berjaya suatu kaum yang
menyerahkan kepemimpinannya pada wanita’ Oleh karena itu, ulama fiqih
sepakat bahwa jabatan Imam harus laki-laki).[21] Tentu saja yang
dimaksud
al-imam di sini adalah
al-imam al-udzma atau
al-khalifah al-ammah yang mengepalai muslim dunia.
Namun, menurut Wahab Zuhaili, dalam masalah jabatan
qadhi atau hakim, terdapat perbedaan ulama fiqih apakah wajib laki-laki atau perempuan juga boleh menempati posisi ini:
اتفق أئمة المذاهب على أن القاضي يشترط فيه أن يكون
عاقلاً بالغاً حراً مسلماً سميعاً بصيراً ناطقاً، واختلفوا في اشتراط
العدالة، والذكورة
(Imam madzhab sepakat bahwa syarat bagi qadhi adalah berakal sehat,
baligh, merdeka, muslim, tidak tuli, tidak buta, tidak bisu. Mereka
berbeda pendapat dalam syarat adil dan laki-laki).[22]
Ulama yang membolehkan wanita menduduki jabatan qadhi atau hakim
antara lain Abu Hanifah, Ibnu Hazm dan Ibnu Jarir at-Tabari. Ibnu Rushd
memerinci perbedaan pendapat ini dalam kitab
Bidayatul Mujtahid:
وكذلك اختلفوا في اشتراط الذكورة: فقال الجمهور: هي
شرط في صحة الحكم، وقال أبو حنيفة يجوز أن تكون المرأة قاضيا في الأموال.
قال الطبري : يجوز أن تكون المرأة حاكماعلى الإطلاق في كل شيء
(Ulama berbeda pendapat tentang disyaratkannya laki-laki sebagai
hakim. Jumhur mengatakan: ia menjadi syarat sahnya putusan hukum. Abu
Hanifah berkata: boleh wanita menjadi qadhi dalam masalah harta.
At-Tabari berkata: Wanita boleh menjadi hakim secara mutlak dalam segala
hal).[23]
Sementara itu, kalangan ulama kontemporer yang mengharamkan
kepemimpinan wanita dipelopori oleh ulama Wahabi. Abdul Aziz bin
Abdullah bin Baz[24] menyatakan dalam fatwanya bahwa wanita dilarang
menduduki jabatan tinggi apapun dalam pemerintahan:
تولية المرأة واختيارها للرئاسة العامة للمسلمين لا
يجوز، وقد دل الكتاب والسنة والإجماع على ذلك ، فمن الكتاب : قوله تعالى : {
الرجال قوَّامون على النساء بما فضَّل الله بعضهم على بعض ، والحكم في
الآية عام شامل لولاية الرجل وقوامته في أسرته ، وكذا في الرئاسة العامة من
باب أولى ، ويؤكد هذا الحكم ورود التعليل في الآية ، وهو أفضلية العقل
والرأي وغيرهما من مؤهلات الحكم والرئاسة . ومن السنَّة : قوله صلى الله
عليه وسلم لما ولَّى الفرسُ ابنةَ كسرى : ( لن يفلح قومٌ ولَّوا أمرَهم
امرأة ) ، رواه البخاري ولا شك أن هذا الحديث يدل على تحريم تولية المرأة
لإمرة عامة ، وكذا توليتها إمرة إقليم أو بلد ؛ لأن ذلك كله له صفة العموم
، وقد نفى الرسول صلى الله عليه وسلم الفلاح عمَّن ولاها ، والفلاح هو
الظفر والفوز بالخير .
(Kepemimpinan wanita untuk
riasah ammah lil muslimin itu tidak
boleh. Quran, hadits dan ijmak sudah menunjukkan hal itu. Dalil dari
Al-Quran adalah QS An-Nisa 4:34. Hukum dalam ayat tersebut mencakup
kekuasaan laki-laki dan kepemimpinannya dalam keluarga. Apalagi dalam
wilayah publik… Adapun dalil hadits adalah sabda Nabi “Suatu kaum tidak
akan berjaya apabila diperintah oleh perempuan.” Tidak diragukan lagi
bahwa hadits ini menunjukkan haramnya kepemimpinan perempuan pada
otoritas umum atau otoritas kawasan khusus. Karena semua itu memiliki
sifat yang umum. Rasulullah telah menegasikan kejayaan dalam suatu
negara yang dipimpin perempuan).[25]
Fatwa Bin Baz di atas tidak membedakan antara
riasah ammah yakni
al-khilafah al-ammah dengan
al-wilayah al-khassah. Juga,
semua posisi jabatan tinggi seperti hakim, menteri, gubernur, dan semua
posisi yang membawahi laki-laki haram hukumnya diduduki oleh perempuan.
Pandangan yang Membolehkan Pemimpin Wanita
Dr. Muhammad Sayid Thanthawi, Syaikh Al-Azhar dan Mufti Besar
Mesir,[26] menyatakan bahwa kepemimpinan wanita dalam posisi jabatan
apapun tidak bertentangan dengan syariah. Baik sebagai kepala negara
(al-wilayah al-udzma) maupun posisi jabatan di bawahnya. Dalam fatwanya
yang dikutip majalah
Ad-Din wal Hayat, Tantawi menegaskan:
ان تولي المرأة رئاسة الدولة لا يخالف الشريعة
الإسلامية لأن القرآن الكريم أشاد بتولي المرأة لهذا المنصب في الآيات التي
ذكرها المولى عز وجل عن ملكة سبأ وأنه إذا كان ذلك يخالف الشريعة
الإسلامية لبين القرآن الكريم ذلك في هذه القصة وحول نص حديث رسول الله صلى
الله عليه وسلم : (لم يفلح قوم ولو أمرهم امرأة )، قال طنطاوي ان هذا
الحديث خاص بواقعة معينة وهي دولة الفرس ولم يذكره الرسول صلى الله عليه
وسلم على سبيل التعميم.: فللمرأة أن تتولى رئاسة الدولة والقاضية
والوزيرة والسفيرة وان تصبح عضوا في المجالس التشريعية إلا أنه لا يجوز لها
مطلقا أن تتولى منصب شيخ الأزهر لأن هذا المنصب خاص بالرجال فقط لأنه يحتم
على صاحبه إمامة المسلمين للصلاة وهذا لا يجوز شرعا للمرأة.)
(Wanita yang menduduki posisi jabatan kepala negara tidaklah
bertentangan dengan syariah karena Al-Quran memuji wanita yang menempati
posisi ini dalam sejumlah ayat tentang Ratu Balqis dari Saba.[27] Dan
bahwasanya apabila hal itu bertentangan dengan syariah, maka niscaya
Al-Quran akan menjelaskan hal tersebut dalam kisah ini. Adapun tentang
sabda Nabi bahwa “Suatu kaum tidak akan berjaya apabila diperintah oleh
wanita” Tantawi berkata: bahwa hadits ini khusus untuk peristiwa
tertentu yakni kerajaan Farsi dan Nabi tidak menyebutnya secara umum.
Oleh karena itu, maka wanita boleh menduduki jabatan sebagai kepala
negara, hakim, menteri, duta besar, dan menjadi anggota lembaga
legislatif. Hanya saja perempuan tidak boleh menduduki jabatan Syaikh
Al-Azhar karena jabatan ini khusus bagi laki-laki saja karena ia
berkewajiban menjadi imam shalat yang secara syariah tidak boleh bagi
wanita).[28]
Pendapat ini disetujui oleh Yusuf Qardhawi. Ia menegaskan bahwa perempuan berhak menduduki jabatan kepala negara
(riasah daulah),
mufti, anggota parlemen, hak memilih dan dipilih atau posisi apapun
dalam pemerintahan ataupun bekerja di sektor swasta karena sikap Islam
dalam soal ini jelas bahwa wanita itu memiliki kemampuan sempurna
(tamam al ahliyah).[29]
Menurut Qaradawi tidak ada satupun nash Quran dan hadits yang melarang
wanita untuk menduduki jabatan apapun dalam pemerintahan. Namun, ia
mengingatkan bahwa wanita yang bekerja di luar rumah harus mengikuti
aturan yang telah ditentukan syariah seperti a) tidak boleh ada
khalwat
(berduaan dalam ruangan tertutup) dengan lawan jenis bukan mahram, 2)
tidak boleh melupakan tugas utamanya sebagai seorang ibu yang mendidik
anak-anaknya, dan 3) harus tetap menjaga perilaku islami dalam
berpakaian, berkata, berperilaku, dan lain-lain.[30]
Ali Jumah Muhammad Abdul Wahab, mufti Mesir saat ini[31], termasuk di
antara ulama berpengaruh yang membolehkan wanita menjadi kepala negara
dan jabatan tinggi apapun seperti hakim, menteri, anggota DPR, dan
lain-lain. Namun, ia sepakat dengan Yusuf Qardhawi bahwa kedudukan
Al-Imamah Al-Udzma
yang membawahi seluruh umat Islam dunia harus dipegang oleh laki-laki
karena salah satu tugasnya adalah menjadi imam shalat.[32]
Ali Jumah menyatakan bahwa kepemimpinan wanita dalam berbagai posisi
sudah sering terjadi dalam sejarah Islam. Tak kurang dari 90 perempuan
yang pernah menjabat sebagai hakim dan kepala daerah terutama di era
Khilafah Utsmaniyah. Bagi Jumah, keputusan wanita untuk menempati
jabatan publik adalah keputusan pribadi antara dirinya dan suaminya.[33]
Syarat Perempuan Bekerja di Luar Rumah
Bolehnya perempuan menduduki posisi penting di lembaga pemerintahan –
dari kepala negara sampai ketua RT– maupun di sektor swasta bukan tanpa
syarat. Islam membuat aturan-aturan yang harus ditaati atas setiap
langkah yang dilakukan oleh setiap muslim dan muslimah. Dalam hal ini,
Qardawi menyatakan ada tiga syarat yang harus dipenuhi wanita yang
bekerja di luar rumah:
أولاً أن يكون العمل مشروعًا، فلا يجوز أن تعمل
المرأة في عمل غير مشروع، كما لا يجوز للرجل أن يعمل في عمل غير مشروع،
ولكن توجد أشياء تجوز للرجل ولا تجوز للمرأة، فلا يجوز أن تعمل راقصة
مثلاً، ولا يجوز أن تعمل سكرتيرة خاصة لرجل يغلق عليها مكتب، وتضاء لمبة
حمراء؛ فلا يجوز الدخول، لأن خلوة المرأة بالرجل بلا زوج ولا محرم، محرمة
بيقين وبالإجماع.
الأمر الثاني: هو ألا يكون هذا العمل منافيًا لوظيفتها الأساسية في
مملكتها الأساسية كما تقول، فعملها الأول أنها زوجة تؤدي حقوق الزوجية، وأم
تؤدي حقوق الأولاد، فإذا كان هذا العمل سيتعارض تمامًا مع ذلك، فهذا لا
يقبل بحال.
الأمر الثالث: أن تلتزم بالآداب الإسلامية، مثل آداب الخروج واللبس
والمشي والكلام والحركة، فلا يجوز أن تخرج متبرجة، ولا يجوز أن تخرج متعطرة
ليشم الرجال ريحها، ولا يجوز أن تمشي كما قال تعالى: (ولايضربن بأرجلهن
ليعلم ما يخفين من زينتهن) أي تلبس حذاء بكعب عال وتضرب به في الأرض كأنها
تقول للناس: “خذوا بالكم”، كما لا يجوز الكلام إلا بالمعروف (ولا تخضعن
بالقول فيطمع الذي في قلبه مرض وقلنا قولًا معروفًا) فهذه آداب يجب أن
تراعيها إذا قامت بعملها هذا.
(Pertama, pekerjaan itu tidak dilarang syariah. Wanita tidak boleh
melakukan pekerjaan yang dilarang syariah sebagaimana hal itu tidak
boleh bagi laki-laki. Akan tetapi ada juga jenis pekerjaan yang boleh
bagi laki-laki tapi tidak boleh bagi perempuan. Misalnya, wanita tidak
boleh menjadi penari, atau sekretaris pribadi bagi laki-laki yang berada
di dalam kamar tertutup. Karena wanita yang khalwat [berduaan dalam
ruangan tertutup] dengan lelaki lain tanpa ditemani suami atau mahram
adalah haram secara pasti menurut ijmak ulama.
Kedua, pekerjaan yang dilakukan hendaknya tidak meniadakan tugas
wanita yang utama yaitu sebagai istri dengan melaksanakan hak-hak rumah
tangga dan sebagai ibu dalam memenuhi hak-hak anak. Sekiranya pekerjaan
tersebut akan mengganggu tugas-tugas utamanya, maka itu tidak bisa
diterima.
Ketiga, berpegang teguh pada etika Islam. Seperti tata cara keluar
rumah, berpakaian, berjalan, berbicara, dan menjaga gerak-geriknya. Oleh
karena itu, wanita tidak boleh keluar tanpa mengenakan busana muslim,
atau memakai parfum supaya wanginya tercium laki-laki. Dan tidak boleh
berjalan dengan gaya jalan seperti yang digambarkan Allah dalam QS
An-Nur 24:31 “Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan.”[34] Sebagaimana tidak dibolehkan
berbicara kecuali untuk kebaikan seperti disebut dalam QS Al-Ahzab 33:32
“Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah
orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang
baik.”[35] Inilah etika prinsip yang harus dijaga oleh wanita yang
bekerja di luar rumah.)[36]
Kesimpulan
Terdapat kesepakatan ulama fiqih
(ijmak) dari keempat madzhab dan lainnya, salaf dan kontemporer, bahwa perempuan tidak boleh menduduki jabatan
al-khilafah al-ammah atau
al-imamah al-udzma. Namun, ada perbedaan pandangan tentang definisi kedua istilah ini. Mayoritas memaknai kata
al-khilafah al-ammah atau
al-imamah al-udzma sebagai kepala negara yang membawahi wilayah Islam di seluruh dunia seperti yang terjadi pada zaman empat khalifah pertama
(khulafaur rasyidin),
masa khilafah Abbasiyah dan Umayyah. Ulama fiqih klasik umumnya juga
tidak membolehkan perempuan menjadi hakim, kecuali Abu Hanifah, Ibnu
Hazm dan Ibnu Jarir At-Tabari yang membolehkan wanita menduduki posisi
apapun. Pandangan ketiga ulama terakhir ini menjadi salah satu alasan
ulama kontemporer atas bolehnya wanita menjabat posisi apapun asal
memenuhi syarat.
Bagi kalangan yang mengharamkan kepala negara wanita, setiap negara muslim saat ini termasuk dalam kategori
al-wilayah al-ammah yang pemimpinnya disebut
al-imamah al-udzma.
Oleh karena itu, perempuan tidak boleh menduduki posisi ini. Bagi ulama
yang membolehkan, seperti Tantawi, Yusuf Qardawi dan Ali Jumah,
masing-masing negara yang ada saat ini adalah salah satu bagian wilayah
alias
al-wilayah al-khassah – bukan
al-wilayah al-ammah —
dan karena itu boleh dipimpin oleh perempuan termasuk posisi jabatan
lain yang berada di bawahnya seperti hakim, menteri, gubernur, DPR, dan
lain-lain.
Di antara kedua pendapat di atas, ada pandangan yang ekstrim yang
menyatakan bahwa perempuan tidak boleh menduduki posisi jabatan apapun
yang membawahi laki-laki dengan argumen QS An-Nisa 4:34 dan hadits Abu
Bakrah. Pendapat ini berasal dari ulama Wahabi Arab Saudi dan didukung
oleh hampir semua kalangan yang pro dengan mereka.[]
Footnote
[1] Adrian Vickers,
A History of Modern Indonesia, (Cambridge University Press:2013).
[2] Libby Hughes,
Benazir Bhutto: From Prison to Prime Minister, (Universe: 2000).
[3] Willem van Schendel,
A History of Bangladesh, (Cambridge University Press 2009).
[4]
Al-Mukjam Al-Wasith. Teks asal: و الوِلاَيةُ البلادُ التي يتسلَّط عليها الوالي. Dalam kamus
Ar-Raid, kata
al-wilayah bisa bermakna wali yakni penugasa yang mengatur negara: Tiga
makna wilyah: 1- ولي الشيء أو عليه : قام به وملك أمره . 2 – وليه أو
عليه : نصره ، ساعده . 3 – ولي البلد : حكمه وأدار شؤونه .
[5] القيام بعمل من أعمال السلطات الثلاث : التشريعية ، والتنفيذية ، والقضائية
[6] Sebagaimana yang terjadi dahulu pada zaman
Khulafaur Rasyidin dan juga seperti yang diimpikan dan dicita-citakan oleh gerakan
Hizbut Tahrir.
[7] Diskursus tentang ini lihat Ibnu Taimiyah dalam
Al-Wilayah as-Siyasiyah al-Kubro fil Islam.
[8] Yusuf Qardhawi, “للمرأة تولي الإفتاء والقضاء ورئاسة الدولة” Link: http://goo.gl/P3k8Nt
[9] Al-Mawardi dalam
Al-Ahkam as-Sultaniyah, hlm. 31.
[10] Teks asal: الرجال قوامون على النساء بما فضل الله بعضهم على بعض
[11] Teks asal: وقرن في بيوتكن ولا تبرجن تبرج الجاهلية الأولى
[12] QS Al-Ahzab 33:53 : وإذا سألتموهن متاعاً فاسألوهن من وراء حجاب ذلكم أطهر لقلوبكم وقلوبهن
[13] QS Al-Baqarah 4:282 : واستشهدوا شهيدين من رجالكم فإن لم يكونا رجلين فرجل وامرأتان
[14] QS At-Taubah 9:71 والمؤمنون والمؤمنات بعضهم من بعض يأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر
[15] Hadits riwayat Abu Daud nomor 236. Lihat juga, Ahmad dalam
Musnad-nya no. 26238; Abu Ya’la dalam
Musnad-nya no. 4694; Tirmidzi dalam
Al-Jamik no. 113; Daruqutni dalam
As-Sunnah no. 481; Ibnul Jarud dalam
Al-Muntaqa no. 90; Tusi dalam
Al Mustakhraj no. 324; Baihaqi dalam
Sunan al-Kubro no. 767. Teks asal: إنما النساء شقائق الرجال
[16] Hadits dalam
Sahih Bukhari: قد أذن لكن أن تخرجن لحوائجكن
[17] Hadits riwayat Yazid bin Abi Hubaib terdapat dalam
Al-Isabah li-Ibni Hajar,
hlm. VII/728. Teks hadits: أن عمر رضي الله عنه استعمل الشِّفَاء على
السوق. قال: ولا نعلم امرأة استعملها غير هذه عن يزيد بن أبي حبيب . Namun
hadits ini dianggap tidak sahih oleh Ibnu Arabi dalam Ahkam al-Quran,
hlm III/482.
[18]
Sahih Bukhari hadits no. 4425;
Sunan Nasai VIII/227. Teks asal: لن يفلح قوم ولوا أمرهم امرأة
[19] Ismail bin Umar Ad-Dimashqi,
Tafsir Ibnu Katsir, hlm. II/293-293.
[20] Tafsir
Al-Fakhrur Razi, hlm. I/88
[21] Wahbah Zuhaili dalam
Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, hlm. 8/302.
[22] Ibid, hlm. 8/80.
[23] Ibnu Rashd, dalam
Bidayatul Mujtahid, hlm. IV/1768.
[24] Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz adalah mufti kerajaan Arab Saudi
yang berfaham ideologi Wahabi dan bermadzhab fiqih Hanbali.
[25] Abdullah bin Abdul Azin bin Baz,
Majmuk Fatawa Ibn Baz, no.
fatwa: 30461, hlm. I/424. Pendapat serupa juga dapat dilihat pada Fatawa
Al-Lajnah Ad-Daimah, no. fatwa: 11780, hlm. XVII/ 13.
[26] Menjabat sebagai Mufti Besar Mesir pada tahun 1986-1996, menjadi Imam Masjid Al-Azhar dan Syeikh Al-Azhar pada 1996.
[27] Kisah Ratu Balqis atau Ratu Saba terdapat dalam QS An-Naml 27:23-44.
[28] Harian
Okaz Arab Saudi, edisi 28 Muharram 1429, hlm. 39 mengutip dari majalah
Ad-Din wal Hayat Mesir
.
[29] Fatwa Qardawi pada suatu program “Fiqh al-Hayat” yang diadakan
tanggal 29 Agustus 2009. Fatwa serupa juga ditulis di kitabnya
Fatawa Muashirah. Juga dimuat di situs resminya: http://goo.gl/P3k8Nt
[30] Qardhawi,
Op.Cit. Lihat “Syarat Perempuan Bekerja di Luar Rumah” dalam tulisan ini.
[31] Mufti Besar Mesir sejak 2013 sampai saat ini (2013).
[32] Fatwanya dimuat di harian
Al-Jumhuriyah Mesir, edisi 28 Januari 2007.
[33]
Ibid.
[34] QS An-Nur 24:31 ولا يضربن بأرجلهن ليعلم ما يخفين من زينتهن
[35] QS Al-Ahzab 33:32 فلا تخضعن بالقول فيطمع الذي في قلبه مرض وقلن قولا معروفا
[36] Qardawi,
Op.Cit
*Ditulis untuk Buletin Al-Khoirot Malang